Budaya pasuruan
Salah satu aset penting yang dimiliki Kota Pasuruan saat ini adalah keberadaanbangunan kuno yang memenuhi unsur sebagai bangunan cagar budaya. Namun sayangnya, aset itu saat ini belum dilirik oleh Pemkot untuk kemudian dikelola secara optimal dengan titik muara dapat memberikan benefit kepada masyarakat Kota Pasuruan. Padahal keberadaan bangunan tua ini dapat memperteguh eksistensi Kota Pasuruan sebagai kota tua.
Mangkrak,
kumuh dan tidak terurus. Bahkan beberapa diantaranya sudah dalam
kondisi rusak parah. Itulah sebagian kondisi bangunan kuno yang saat ini
ada di Kota Pasuruan. Memang ada beberapa diantaranya yang masih dalam
kondisi terawat, seperti bangunan gedung wolu, rumah singa, gedung P3GI
(terutama bagian aulanya), ataupun gereja katholik St Padova. Ada
berbagai faktor yang menjadikan bangunan-bangunan tua itu dalam kondisi
memprihatinkan, salah satu diantaranya adalah belum adanya payung hukum
yang menjadi pegangan instansi terkait untuk menggulirkan kegiatan yang
berujung pada upaya pelestarian bangunan-bangunan kuno tersebut.
Ditambah lagi status kepemilikan bangunan-bangunan tua oleh
perseorangan-perseorangan.
Berangkat
dari permasalahan-permasalahan di atas ditambah dengan nilai
kemanfaatan yang dapat diambil oleh Pemkot dengan adanya
bangunan-bangunan kuno tersebut, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(Bapeda) Kota Pasuruan melakukan kajian pelestarian bangunan kuno di
Kota Pasuruan. Kepala Bidang Penelitian dan Pengembangan, Ir. Didik
Chairudi menjelaskan, tujuan dilaksanakan kegiatan ini adalah untuk
menginventaris serta menganalisis kondisi dan potensi bangunan kuno yang
ada di Kota Pasuruan.
“Dari
hasil penelitan ini nantinya akan ada rekomendasi yang kita berikan
untuk instansi terkait tentang hal-hal yang dapat dilakukan dalam upaya
untuk melestarikan bangunan-bangunan kuno tersebut,” jelasnya.
Berdasarkan
inventarisasi yang pernah dilakukan Badan Arkeologi Yogyakarta beberapa
tahun silam, bangunan kuno di Kota Pasuruan yang mempunyai potensi
dijadikan cagar budaya ada 110 bangunan. Namun untuk penelitian yang
dilakukan Bapeda ada beberapa kriteria dalam pemilihan obyek penelitian.
Diantaranya adalah bangunan harus berusia minimal 50 tahun, memiliki
ciri arsitektur khas Arab, China, Tradisional maupun kolonial serta
berlokasi di jalan beraspal yang dapat dilalui kendaraan roda empat.
“Kenapa
kita fokuskan bangunan yang ada di tepi jalan beraspal adalah
lokasi-lokasi tersebut semasa jaman kolonial merupakan permukiman yang
berada di sekitarheerenstrat dan hofdstraat. Ini didasarkan penelusuran peta Pasuruan tahun 1900,” katanya panjang lebar.
Banyaknya
bangunan tua di Kota Pasuruan saat ini tidak lepas dari rekam jejak di
masa lalu. Dimana Kota Pasuruan di masa lalu pernah menjadi daerah yang
cukup menggiurkan untuk melakukan perdagangan dengan keberadaan bandara
laut. Adanya bandara laut ini pula yang menarik minat warga China
daratan merantau dan kemudian tinggal di Kota Pasuruan. Tercatat nama
Kapitan Han yang pernah menjadi saudagar kaya raya dan bangunan tempat
tinggalnya hingga sekarang masih ada. Keberadaan masyarakat China
perantauan ini pula yang menjadikan di Kota Pasuruan banyak ditemukan
bangunan-bangunan kuno beraksen China.
“Namun gayanya tidak sepenuhnya China. Istilahnya, bangunan-bangunan itu menganut gaya electisme yakni
mencampurkan budaya China, lokal dan Eropa. Inilah yang nampak pada
bangunan gedung wolu ataupun rumah singa,” jelas Didik.
Kejayaan
Kota Pasuruan terus berlanjut dimasa kolonial dengan dijadikannya
sebagai ibukota residensi. Status sebagai ibukota residensial inilah
yang mendorong dibangunnya berbagai fasilitas publik seperti rumah
sakit, gedung perkantoran maupun permukiman untuk orang-orang Hindia
Belanda. Bangunan-bangunan itu kebanyakan didirikan di sepanjang
kawasan Hereenstrat (Jalan Pahlawan, red) yang di masa lalu
menjadi kawasan elit. Ciri khas yang melekat kuat di bangunan-bangunan
yang didirikan semasa jaman kolonial ini adalah gaya arsitekturnya yang
menganut aliran Indische Empire.
“Sayangnya,
sekarang ini sudah banyak bangunan tua yang hilang seperti gedung hotel
Morbeck, Hotel Tonjas dan lain sebagainya,” ungkap Didik.
Dari
hasil penelitian oleh Bapeda yang menggandeng pihak ketiga ini
didapatkan hasil bahwa bangunan-bangunan kuno yang ada sekarang ini
hampir 70 persennya dikuasai perseorangan, sedangkan sisanya dalam
penguasaan pemerintah kota yang dijadikan untuk perkantoran. “Dengan
proporsi semacam ini yang memungkinkan untuk dijadikan sebagai pilot
project dalam upaya pelestarian bangunan kuno adalah bangunan kuno yang
dimiliki Pemkot. Kalau yang dikuasai perseorangan harus ada
langkah-langkah strategis karena dana yang digunakan untuk pelestarian
akan diambilkan dari APBD,” jelas Didik.
Selain
itu, hasil penelitan menunjukkan 57 persen bangunan kuno yang dijadikan
obyek penelitan dalam kondisi terawat baik, sedangkan 43 persen tidak
terawat dan sisanya sebanyak 30 persen kurang terawat. Sebagian besar
yang kondisinya yang kondi sinya tidak terawat adalah bangunan-bangunan
yang tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya. Adapun motif yang membuat
mereka enggan melakukan perawatan adalah keterbatasan pendapatan dari
pemiliknya serta pertimbangan dari pemilik yang merasa tidak mendapatkan
manfaat atas bangunan tersebut.
Terkait
dengan upaya pelestarian bangunan kuno, ada beberapa cara yang dapat
dilakukan, seperti melakukan konservasi, restorasi ataupun rehabilitasi.
Cara konservasi adalah dengan melakukan pemeliharaan, melindungi dan
memanfaatkan bangunan secara efisien. Cara konservasi ini memberikan
peluang untuk pemanfaatan bangunan kuno yang dapat memberikan keuntungan
senyampang tidak mengancam keasliannya.
Didik
mengemukakan, dilihat dari karakteristik bangunan kuno yang saat ini
ada di Kota Pasuruan, cara yang paling tepat adalah dengan metode
konservasi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa sebagian bangunan
kuno yang ada telah mendekati usia di atas 100 tahun. “Selain itu,
dilihat dari proporsi kepemilikannya yang sebagian besar dimiliki
individu,” tukasnya.
Dari hasil kajian dan kemudian dilakukan analisis, dari 110 bangunan yang menjadi obyek penelitan, 48 diantaranya masuk kategori prioritas untuk dilestarikan. Ke 48 bangunan kuno itu diantaranya adalah gedung P3GI, gedung Kantor Dinas Pendapatan, gedung Suropati dan lain sebagainya. “Tapi hasil penelitian ini belum sampai pada penetapan bangunan kuno tersebut sebagai bangunan cagar budaya. Untuk itu perlu ada kajian lagi dan pemberian status sebagai cagar budaya hanya dapat dilakukan oleh instansi tertentu,” kata Didik.
Dari hasil kajian dan kemudian dilakukan analisis, dari 110 bangunan yang menjadi obyek penelitan, 48 diantaranya masuk kategori prioritas untuk dilestarikan. Ke 48 bangunan kuno itu diantaranya adalah gedung P3GI, gedung Kantor Dinas Pendapatan, gedung Suropati dan lain sebagainya. “Tapi hasil penelitian ini belum sampai pada penetapan bangunan kuno tersebut sebagai bangunan cagar budaya. Untuk itu perlu ada kajian lagi dan pemberian status sebagai cagar budaya hanya dapat dilakukan oleh instansi tertentu,” kata Didik.
Kuliner Khas Pasuruan
BIPANG JANGKAR
Inilah
produk pertama Bipang Jangkar . Dari kiri ke kanan : Bipang Djangkar
Biru (DB), Djangkar Hijau(DH), dan Djangkar Merah(DM). Bipang DB dan DH
merupakan bipang rasa vanila. Inilah “original flavour” dari
bipang. Kemudian rasa vanila dicoba dikombinasikan dengan susu, sehingga
terciptalah Bipang DM. Kemasan kertas ini masih kami pertahankan sampai
sekarang untuk menjaga keaslian citarasa Bipang.
Sekitar
tahun 1980-an terciptalah Bipang Jangkar rasa Tutty Fruity. Bipang ini
menggunakan esen Tutty Fruity. Rasanya harum dengan aroma buah-buahan.
Seiring
perkembangan jaman, Bipang Jangkar mulai dikembangkan dengan berbagai
macam rasa dan dibuat kemasan satuan. Ini membuat bipang lebih praktis
dan tahan lamah
Ciri Khas PasuruanBatik Khas Kota Pasuruan
Batik adalah warisan nenek moyang dengan cita rasa intemasional. Dengan mengutamakan kreatitas dan seni menggambar, karyaasli bangsa Indonesia ini telah mendapatkan pengakuan masyarakatintemasional
dengan menjadikannya sebagai warisan budaya dunia oleh Unesco.
Keberadaan batik di Indonesia memang sudah menyatu kuat dengan denyut
nadi kehidupan masyarakatIndonesia. Hampir di seluruh daerah di Indonesia dapat ditemukan mahakarya ini dengan ciri khasnya masing-masing. Tidak terkecuali Kota Pasuruan yang menonjolkan corak kembang sirih dan burung kepodangnya.
sumber : http://jawatimuran.wordpress.com
sumber : http://jawatimuran.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar